Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Desember 2009

Metode ijtihad Ormas Islam Indonesia (NU, Muhammadiyah, MUI)


METODE PENGAMBILAN HUKUM ISLAM NU, MUHAMMADIYAH, DAN MUI

Nahdlotul Ulama

Bahstul Masail al-Diniyah adalah salah satu forum diskusi keagamaan yang ada dalam NU untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual (kontemporer) yang muncul dalam kehidupan masyarakat, yang tidak hanya meliputi persoalan hukum halal haram melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan keislaman dan kajian kitab, sehingga kalau selama ini Bahstul Masail di NU hanya menyangkut masalah waqi’iyyah, kini telah diperluas dengan Bahstul Masail secara maudhu’iyyah.

Dalam prakteknya para ulama NU lebih mengutamakan otoritas keahlian seseorang dan literatur yang diperolehnya, dari pada meneliti kecenderungan madzhabnya. Oleh karena itu selain tetap berpegang pada pemikiran para ulama klasik, juga tidak mempersoalkan pemikiran ulama sekaliber Syaikh Muthi’i, Makhluf, Abdul Qadir Audah, Yusuf Musa, dan lain sebagainya, untuk dirujuk kitabnya.

• Metode pengambilan putusan hukum Islam dalam Bahstul Masail NU

A. Penjelasan umum

1. Yang dimaksud dengan kitab adalah kutub al-madzahibu al-arba’ah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
2. Yang dimaksud madzhab secara qouli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkungan salah satu al-madzahib al-arba’ah.
3. Yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhaji adalah bemadzhab dengan mengikuti jalan pikiran (metode)dan kaedah penetapan hukum yang telah disusun oleh para imam-imam dari al-madzahib al-arba’ah.
4. Yang dimaksud dengan istimbath jama’i adalah mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan Qawaid ushuliyah secara kolektif .
5. Yang dimaksud dengan Qaul dalam referensi madzhab Syafi’i adalah pendapat imam Syafi’i.
6. Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama madzhab Syafi’i.
7. Yang dimaksud dengan taqrir jama’i adalah adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah dalam madzhab Syafi’i.
8. Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazhariha) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi).
9. Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa judul masalah maupun disertai pokok-pokok pikiran atau pola hasil pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan.
10. Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu bahstul masail oleh PB Syuriah NU, Munas Alim Ulama NU atau Muktamar NU.

B. System pengambilan keputusan Bahstul Masail

I. Kerangka analisa masalah
Dalam memecahkan dan merespon masalah, Bahstul Masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah, antara lain sebagai berikut:

1. Analisa masalah (sebab kenapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai factor:
a. Factor ekonomi
b. Factor politik
c. Factor budaya
d. Factor social
e. Factor lainnya
2. Analisa dampak (dampak positif dan negative yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang dicari hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek antara lain:

a. Aspek social ekonomi
b. Aspek social budaya
c. Aspek social politik
d. Aspek social lainnya
3. Analisa hukum (dampak Bahstul Masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya disegala bidang) disamping mempertimbangkan hukum Islam juga mempertimbangkan hukum yuridis formal.

a. Status hukum (al-ahkam al-khomsah)
b. Dasar dari ajaran (Ahlussunnah wal Jama’ah)
c. Hukum positif

II. Prosedur penjawaban masalah

Keputusan Bahstul Masail dilingkungan NU dibuat dalam rangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan diutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:

1. Dalam kasus ketika jawaban bias dicukupi dengan ibarat dari kitab al-madzahib al-arba’ah dan disana terdapat hanya satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut.
2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi dengan ibarat dan disana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan tersebut bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Dengan memngambil pendapat yang lebih kuat dan/atau yang lebih mashlahat
b. Khusus dalam madzhab Syafi’i sesuai dengan Muktamar ke-I (1926), perbedaan pendapat disesuaikan dengan memilih:

1. Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhan (al-Nawawi dan al-Rafi’i)
2. Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi
3. Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi’i
4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
5. Pendapat ulama yang terpandai
6. Pendapat ulama yang paling wara’
3. Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nazhairiha secara jama’i oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bih, wajhu al-ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
4. Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istimbath jama’i dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya. Yaitu dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah oleh para ahlinya.

C. Hirarki dan sifat keputusan Bahstul Masail

1. Seluruh keputusan bahstul masail dilingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun diluarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.
2. Suatu hasil keputusan Bahstul Masail dilingkungan NU dianggap memiliki kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.
3. Sifat dari keputusan bahstul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah:
a. Mengesahkan rancangan keputusan yang telah disiapkan sebelum atau
b. Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas disegala bidang.
4. Muktamar sebagai forum tertinggi di NU, maka Muktamar dapat mengukuhkan atau menganulir hasil munas.

D. Kerangka analisa tindakan

Kerangka analisa tindakan, peran dan pengawasan efektifitas hasil Bahstul Masail (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari Bahstul Masail, siapa yang akan melaksanakan, bagaimana, kapan, dan dimana hal tersebut akan dilakukan dan bagaimana cara sosialisasi mekanisme pemantapan agar semua berjalan sesuai denga keputusan), maka harus memperhatikan aspek-aspek berikut ini:

1. Aspek politik (berusaha agar hasil Bahstul Masail dapat dijadikan sebagai sarana mempengaruhi kebijakan pemerintah)
2. Aspek budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat terhadap hasil-hasil bahstul masail melalui berbagai media massa dan forum seperti majlis ta’lim dan sebagainya)
3. Aspek ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat)
4. Aspek sosial (upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan hidup, dan lain sebagainya)

Muhammadiyah

Menelusuri metode istimbath Muhammadiyah, tidak bisa terlepas dari peran Majlis Tarjih (selanjutya disingkat MT), lembaga yang berfungsi sebagai “pabrik hukum”. Sebelum keputusan final sebuah hukum digulirkan kepada publik, terlebih dahulu para cendekiawan Muhammadiyah melakukan penggodokan secara serius dan matang di dalam MT ini. Di sanalah, proses-proses istimbath dipraktekkan.

Secara harfiyah, pada mulanya tarjih bermakna “membandingkan pendapat satu dengan yang lain untuk memilih pendapat yang paling kuat.” Dengan kata lain, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua pendapat atau lebih dengan argumen tertentu. MT pada mulanya memang tak lebih sebagai lembaga untuk menguatkan satu dari beberapa pendapat yang sudah ada sebelumnya. Namun pada perkembangannya, MT tidak lagi sekedar menguatkan pendapat-pendapat yang telah ada itu, melainkan juga turut ber-ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang ditemukan.

Peran seperti ini diawali pada 1960-an, terkait persoalan perburuhan, pembatasan kelahiran, dan hak milik. Pada 1968, bahkan MT berhasil menetapkan hukum atas isu-isu kontemporer, seperti bunga bank, judi nalo dan lotre, KB, dan sebagainya. Dengan demikian, makna tarjih itu sendiri telah mengalami perluasan, tidak sekedar “menguatkan” dan “memilih” salah satu dari berbagai pendapat, tapi juga berfungsi “mencari” untuk memecahkan masalah baru. Karena itulah, MT kemudian diklaim oleh Muhammadiyah sebagai lembaga ijtihad, sebuah penamaan yang sangat prestisius. Muhammadiyah memang dikenal sebagai lembaga yang tidak canggung dengan istilah ijtihad karena mereka berkeyakinan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka lebar.

Adapun runtutan istinbath yang dicanangkan MT, pertama melalui al-Qur’an dan al-Sunnah Shahihah, dengan “mengabaikan” pendapat-pendapat para imam fiqih pasca masa sahabat Rasulullah. Hal ini terkait dengan genealogi intelektualisme Muhammadiyah yang memang kurang begitu memberi apresiasi terhadap perkembangan fiqih pada periode yang mereka sebut sebagai periode taqlid (sekitar abad 10 M-18 M). Rentang ini dianggap sebagai periode dimana Islam bercampur-baur dengan apa yang disebut takhayul, bid’ah, dan khurafat.

Oleh karena itu, bila ada persoalan hukum baru yang mengemuka, maka selalu dicarikan jawabannya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun, semua orang tahu bahwa tidak semua persoalan dapat dicarikan jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah karena keterbatasannya. Jika tidak ditemukan jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah MT menggunakan ijtihad dengan istimbath dari nash (teks) yang ada melalui persamaan ‘illat (alasan hukum) . Dengan demikian, ¬kendati qiyas (analogi) tidak diakui secara langsung, namun dalam prakteknya tetap dikembangkan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum. Sedangkan ijma’, Muhammadiyah hanya menerima ijma’ al-shahabah (kesepakatan sahabat) yang mengikuti pandangan imam Ahmad bin Hanbal, yang berarti bahwa ijma’ tak mungkin terjadi pasca generasi sahabat Rasulullah (Khulafa ur- Rasyidin).

Almarhum KH Azhar Basyir, Mantan Ketua PP Muhammadiyah pernah menyatakan, MT menempuh jalur ijtihad yang meliputi; Pertama, ijtihad bayani, yakni ijtihad terhadap nash mujmal (teks yang ambivalen), baik karena belum jelas makna/maksudnya, maupun karena suatu lafazd tertentu mengandung musytarak (makna ganda), mutasyabih (multi tafsir), dan lain sebagainya. Kedua, ijtihad qiyasi, yakni menganalogikan apa yang disebut dalam nash pada masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, karena persamaan ‘illat. Ketiga, ijtihad istishlahi, yakni pencarian maslahat berupa perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Berdasarkan kenyataan ini, meski Muhammadiyah memproklamirkan diri tidak bermazhab, toh dalam praktiknya Muhammadiyah tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran mazhab, meskipun hanya pada tingkat metode atau yang akrab disebut mazhab manhaji.
Hal lain yang cukup menarik, misalnya terkait fatwa Muhammadiyah tentang nikah beda agama, antara lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi). Kendati al-Qur’an terang membolehkan, fatwa Muhammadiyah pada tahun 1989 itu justru mengharamkan. Ayat al-Qur’an yang membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5) itupun “diparkir” dengan alasan hifdz al-din (memelihara agama). Muhamadiyah menyimpulkan, walaupun tanpa melalui penelitian empiric, bila pernikahan itu dibenarkan, dikuatirkan anaknya akan mengikuti agama ibunya. Sehingga, peluang kekuatiran ini harus buru-buru ditutup. Pengharaman seperti inilah yang mereka sebut sebagai haram li sadd al-dzari’ah (mencegah sesuatu yang dikhawatirkan akan terjadi). Ini artinya, bagi Muhammadiyah, haram li sadd dzari’ah dapat mengalahkan ayat yang sudah menyebutkan kebolehan menikahi perempuan ahl al-kitab. Menurut Rumadi (Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), ini jalan berpikir yang luar biasa, karena dengan sadd al-dzari’ah dijadikan sebagai argumen untuk menutup bunyi eksplisit sebuah nash. Dalam kasus ini, Muhammadiyah dengan berani melakukan naskh al-nushush bi sadd al-dzari’ah. Sayangnya, Muhammadiyah tidak cukup mempunyai keberanian untuk mengembangkan hal ini.

Majlis Ulama Indonesia

Terlepas dari ada atau tidaknya motif politik di balik pembentukan MUI, yang jelas majlis para “ulama Indonesia” ini telah menjadi salah satu lembaga penghasil hukum Islam melalui Komisi Fatwanya. Pada awalnya MUI, juga dapat dianggap sebagai “sintesa” dari lembaga-lembaga seperti NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, dan sebagainya. Karena pluralitas anggotanya, fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya merefleksikan keragaman pendapat dan kecenderungan intelektual yang menjadi anggota organisasi Islam itu. Dengan kata lain, Komisi Fatwa dapat dikatakan sebagai “panci pelebur” (melting pot) yang mempertemukan tradisi fiqih oriented dan akademisi Islam dengan penguasaan metodologi yang relatif baik. Sehingga, dalam MUI seharusnya terjadi peleburan antara kecenderungan NU yang teguh memegang tradisi intelektual ulama klasik, dan paham Muhammadiyah yang melulu memegang al-Qur’an dan al-Sunnah.

Almarhum Ibrahim Hosen, mantan Ketua Komisi Fatwa MUI 1981, menyatakan; pemeliharaan atas al-dharuriyyat al-khams (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) sangat diperhatikan MUI tiap mengeluarkan fatwa. Artinya, tiap fatwa MUI diharapkan mampu mewujudkan kemaslahatan dimaksud, baik yang ukhrawi maupun dunyawi. Akan tetapi, jika terjadi benturan antara maslahat non syar’iyyah dengan nash qath’iy (teks yang sudah jelas), MUI tidak akan menggunakan maslahat, karena kemaslahatan hanya ditetapkan akal, sedang nash qath’iy oleh wahyu.
Sisi keunggulan MUI dalam istinbath yang bersifat “lintas mazhab” dan tidak mepunyai keterikatan dengan mazhab fiqih tertentu, maka fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya mencerminkan keragaman dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Dalam prakteknya, potensi keunggulan metodologis ini tidak mempunyai dampak apapun karena fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan MUI senantiasa diwarnai oleh kepentingan politik tertentu, baik kepentingan rezim, maupun kepentingan para elit MUI sendiri. Di samping itu, fatwa MUI juga seringkali sekedar “berpendapat” tanpa memberi solusi atas problem masyarakat. Dominasi kepentingan rezim dapat kita lihat terutama fatwa-fatwa MUI zaman Orde Baru; dominasi kepentingan elit MUI dapat dilihat dalam pengharaman umat Islam bertransaksi dengan bank konvensional pada awal 2003 lalu. Sedangkan fatwa pengharaman pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri hanya karena tidak ada mahram dapat ditunjuk sebagai contoh bahwa MUI sekedar mengeluarkan hukum “halal-haram” dalam masalah sosial tanpa memberi solusi yang memuaskan.











Kang_As’ad

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

 

Nilai takwa dalam berpakaian. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com