Cari Blog Ini

Jumat, 18 Desember 2009

Hukum waris Islam dalam KHI


Masalah Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam

Dalam bermasyarakat permaslahan yang berkaitan dengan waris sangat akrab sekali dikalangan mereka, ini disebabkan permasalahan waris bersentuhan langsung dalam kehidupan mereka dan memang kerap kali menjadi tema obrolan yang menarik, juga masyarakat pada umunya mengalami sendiri hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan.
Di Indonesia yang mayoritas pemeluknya adalah beragama Islam, maka sangat wajar sekali apabila masyarakat muslim tersebut menginginkan untuk memakai sistem waris Islam dalam permasalahan yang berkaitan dengan waris yang mereka alami.
Permasalahan kewarisan di negara Indonesia adalah salah satu wilayah kerja dari Pengadilan Agama RI, yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam selain masalah perkawinan, perwakafan, dan lainya.
Eksistensi Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan, bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) bersama peradilan lainnya seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Pengadilan Militer (PM).
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (LN NO 22/2006 dan TLN NO 4611) dan diberlakukan pada tanggal 20 Maret 2006, kewenangan (kompetensi) Pengadilan Agama semakin luas sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat muslim Indonesia pada saat ini. Kewenangan Pengadilan Agama kini tidak hanya menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, bidang kewarisan, wasiat, hibah, serta bidang wakaf dan shadaqah, melainkan juga menangani permohonan penetapan pengangkatan anak dan menyelsaikan sengketa Zakat, infaq serta sengketa hak milik dan keperdataan lainnya antara sesama muslim dan ekonomi syari’ah (Pasal 49 jo Pasal 50 beserta penjelasannya, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Dalam Islam ilmu yang berkaitan dengan waris adalah wilayah bahasan dari ilmu Faroidl. Faroidl adalah bentuk jamak (plural) dari lafadz faridloh, yang bermakna mafrudloh yaitu suatu bagian yang ditentukan besar kecilnya. Faroidl diambil dari kata fardlu, fardlu dalam istilah ulama fiqih mawaris adalah bagian yang telah ditentukan oleh syara’ untuk waris, seperi rubu’, stulus’, Nishfu. Jadi faroidl adalah ilmu yang membahas tentang pembagian harta waris.
Ulama mendefinisikan faroidl dengan:
“Suatu ilmu yang dengan ilmu tersebut dapat diketahui orang yang menerima waris dan orang yang tidak menerima, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris dan cara pembagiannya”.

Hukum waris dalam agama Islam merupakan segi keilmuan yang penting dalam pengaturan hak milik peninggalan orang yang telah mati dan karenanya banyak sekali ayat al-Qur’an yang menjelaskanya secara terperinci seperti dalam surat al-Nisa’ ayat: 6, 7, 8, 11, 12, 13, 14, 33, 176, surat al-Anfal ayat 75, dan surat al-Ahzab ayat 6.
Salah satu ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang permasalahan waris adalah surat al-Nisa’ ayat 12.
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek kajian ilmu faroidl adalah harta peninggalan orang yang telah mati ( Tirkah atau Mirast ).
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa tirkah adalah seluruh apa yang ditinggalkan orang yang telah mati, baik yang berupa harta maupun hak kepemilikan harta, yang berhubungan dengan orang lain maupun tidak. Dengan pengertian ini maka harta yang berkaitan dengan orang lain dan yang berkaitan dengan pengeluaran untuk pembiayaan jenazah, pelunasan hutang dan wasiat, serta sisanya disebut Tirkah.
Jadi dalam Islam ada kaedah bahwa tidak semua harta tirkah itu dapat diwaris oleh ahli warisnya dan tidak semua harta peninggalan menjadi harta warisan.
Sistematika kewarisan dalam KHI
Pada awalnya ada ketentuan hak opsi yang dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan sebagaimana kita jumpai dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama angka 2 alinea keenam, sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat mempertimbangakan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan, tetapi hak opsi tersebut dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Hukum yang b erkaitan dengan masalah kewarisan yang ada dalam KHI, diatur dalam buku kedua. Dalam buku kedua tersebut terdiri dari beberapa bab yang setiap bab memuat beberapa penjelasan-penjelasan dan ketentuan-ketentuan.
Dalam BAB 1 membahas ketentuan Umum, yaitu:
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetukan siapa-siapa yang behak menjadi ahli waris, dan beberapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasar putusan pengadilan , beragama Islam , meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli wris adalah orng yang saat meninggal mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris , beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya atau hak-haknya.
e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian kepada kerabat.
f. Hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
g. Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan pengadilan.
h. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.
Dalam BAB 11 terdapat beberapa 4 pasal dan perincian-perinciannya, yang membahas diantaranya:
a. Siapakah yang dinamakan ahli waris dan bagaimana kedudukan bayi yang baru lahir.
b. Penyebab kenapa orang terhalang untuk menjadi ahli waris.
c. Kelompok-kelompok ahli waris.
d. Kewajiban-kewajiban ahli waris terhadap pewaris.
Dalam BAB III dibahas tentang bagian-bagian masing ahli waris, yang mana bagian-bagian tersebut adalah pembagian-pembagian yang yang telah ditetapkan dalam ilmu faroidl, yang ilmu faroidl tersebut bersumber langsung dari al-Qur’an dan al-Hadis kemudian diadopsi dalam KHI.
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS al-Nisa’ ayat 11).

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS al-Nisa’ ayat 176).
Dalam BAB IV dibahas tentang ‘Aul dan Rad. Pengertian ‘Aul bagian ahli waris yang berhak menerima waris lebih besar dari harta peninggalan pewaris, sedangkan pengertian Rad adalah membagi sisa warisan kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing.
Dalam BAB V dibahas tentang masalah wasiat, dan perincian-perinciannya, diantaranya membahas tentang:
a. Pasal 194 membahas orang yang berhak memberikan wasiat, harta-harta yang bisa diwasiatkan, pemilikan terhadap harta wasiat.
b. Pasal 195 membahas; cara memberikan wasiat, jumlah harta yang boleh diwasiatkan tidak bole kebih dari sepertiga dari total harta, bolehnya memberikan wasiat kepada ahli waris, dan pernyataan persetujuan dalam menerima wasiat.
c. Pasal 196 menjelaskan dalam wasiar secara trtulis maupun tidak tertulisharus menyebutkan dengan tegas siapayang menerima wasiat.
d. Pasal 197 membahas tentang sebab-sebab batalnya penerimaan wasiat yang mempunyai keputusan tetap yang disampaikan Hakim, yaitu:
• Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh.
• Dipersalahkan secara memfitnah bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman lima tahun atau lebih berat.
• Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat
• Dipersalahkan karena penggelapan atau merusak atau memalsukan surat wasiat.
Dan masih banyak lagi pembahasan-pembahasan mengenai wasiat yang diatur dalam 21 pasal beserta rician-rinciannya.
Kesimpulan
KHI adalah suatu bentuk dari kemajuan yang bisa diraih masyarakat muslim, yang mana sebenarnya umat Islam adalah umat terbesar yang menjadi warga negara Indonesia tetapi dalam kenyataanya dalam masalah hukum kenapa tidak bisa menerapkan hukum yang bersumber dari keyakinan dari umat Islam itu sendiri.
Maka setelah adanya UU No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan agama, KHI resmi digunakan dalam memecahkan permasalahan orang yang berperkara dikalangan masyarakat muslim, dan tidak diperkenankan untuk memilih hukum apa yang digunakan, walaupun lingkpupnya hanya yang berkaitan dengan keperdataan seperti; Nikah, Talak, Rujuk, kewarisan, dan Wakaf.
Semoga pada masa-masa yang akan datang kita bisa menerapkan hukum Islam secara utuh dan lengkap dalam kehidupan bernegara, yang mana hal tersebut adalah merupakan perintah dari ALLAH swt dalam kitab sucinya al-Qur’an yang wajib kita ikuti dan amalkan dalam kehidupan kita di dunia ini.
Masalah Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam bermasyarakat permaslahan yang berkaitan dengan waris sangat akrab sekali dikalangan mereka, ini disebabkan permasalahan waris bersentuhan langsung dalam kehidupan mereka dan memang kerap kali menjadi tema obrolan yang menarik, juga masyarakat pada umunya mengalami sendiri hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan.
Di Indonesia yang mayoritas pemeluknya adalah beragama Islam, maka sangat wajar sekali apabila masyarakat muslim tersebut menginginkan untuk memakai sistem waris Islam dalam permasalahan yang berkaitan dengan waris yang mereka alami.
Permasalahan kewarisan di negara Indonesia adalah salah satu wilayah kerja dari Pengadilan Agama RI, yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam selain masalah perkawinan, perwakafan, dan lainya.
Eksistensi Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan, bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) bersama peradilan lainnya seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Pengadilan Militer (PM).
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (LN NO 22/2006 dan TLN NO 4611) dan diberlakukan pada tanggal 20 Maret 2006, kewenangan (kompetensi) Pengadilan Agama semakin luas sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat muslim Indonesia pada saat ini. Kewenangan Pengadilan Agama kini tidak hanya menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, bidang kewarisan, wasiat, hibah, serta bidang wakaf dan shadaqah, melainkan juga menangani permohonan penetapan pengangkatan anak dan menyelsaikan sengketa Zakat, infaq serta sengketa hak milik dan keperdataan lainnya antara sesama muslim dan ekonomi syari’ah (Pasal 49 jo Pasal 50 beserta penjelasannya, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Dalam Islam ilmu yang berkaitan dengan waris adalah wilayah bahasan dari ilmu Faroidl. Faroidl adalah bentuk jamak (plural) dari lafadz faridloh, yang bermakna mafrudloh yaitu suatu bagian yang ditentukan besar kecilnya. Faroidl diambil dari kata fardlu, fardlu dalam istilah ulama fiqih mawaris adalah bagian yang telah ditentukan oleh syara’ untuk waris, seperi rubu’, stulus’, Nishfu. Jadi faroidl adalah ilmu yang membahas tentang pembagian harta waris.
Ulama mendefinisikan faroidl dengan:
“Suatu ilmu yang dengan ilmu tersebut dapat diketahui orang yang menerima waris dan orang yang tidak menerima, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris dan cara pembagiannya”.

Hukum waris dalam agama Islam merupakan segi keilmuan yang penting dalam pengaturan hak milik peninggalan orang yang telah mati dan karenanya banyak sekali ayat al-Qur’an yang menjelaskanya secara terperinci seperti dalam surat al-Nisa’ ayat: 6, 7, 8, 11, 12, 13, 14, 33, 176, surat al-Anfal ayat 75, dan surat al-Ahzab ayat 6.
Salah satu ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang permasalahan waris adalah surat al-Nisa’ ayat 12,
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek kajian ilmu faroidl adalah harta peninggalan orang yang telah mati ( Tirkah atau Mirast ).
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa tirkah adalah seluruh apa yang ditinggalkan orang yang telah mati, baik yang berupa harta maupun hak kepemilikan harta, yang berhubungan dengan orang lain maupun tidak. Dengan pengertian ini maka harta yang berkaitan dengan orang lain dan yang berkaitan dengan pengeluaran untuk pembiayaan jenazah, pelunasan hutang dan wasiat, serta sisanya disebut Tirkah.
Jadi dalam Islam ada kaedah bahwa tidak semua harta tirkah itu dapat diwaris oleh ahli warisnya dan tidak semua harta peninggalan menjadi harta warisan.
Sistematika kewarisan dalam KHI
Pada awalnya ada ketentuan hak opsi yang dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan sebagaimana kita jumpai dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama angka 2 alinea keenam, sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat mempertimbangakan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan, tetapi hak opsi tersebut dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Hukum yang b erkaitan dengan masalah kewarisan yang ada dalam KHI, diatur dalam buku kedua. Dalam buku kedua tersebut terdiri dari beberapa bab yang setiap bab memuat beberapa penjelasan-penjelasan dan ketentuan-ketentuan.
Dalam BAB 1 membahas ketentuan Umum, yaitu:
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetukan siapa-siapa yang behak menjadi ahli waris, dan beberapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasar putusan pengadilan , beragama Islam , meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli wris adalah orng yang saat meninggal mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris , beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya atau hak-haknya.
e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian kepada kerabat.
f. Hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
g. Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan pengadilan.
h. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.
Dalam BAB 11 terdapat beberapa 4 pasal dan perincian-perinciannya, yang membahas diantaranya:
a. Siapakah yang dinamakan ahli waris dan bagaimana kedudukan bayi yang baru lahir.
b. Penyebab kenapa orang terhalang untuk menjadi ahli waris.
c. Kelompok-kelompok ahli waris.
d. Kewajiban-kewajiban ahli waris terhadap pewaris.
Dalam BAB III dibahas tentang bagian-bagian masing ahli waris, yang mana bagian-bagian tersebut adalah pembagian-pembagian yang yang telah ditetapkan dalam ilmu faroidl, yang ilmu faroidl tersebut bersumber langsung dari al-Qur’an dan al-Hadis kemudian diadopsi dalam KHI. Contoh ayat al-Qur’an yang dengan terang menjelaskan bagian tersebut diantaranya:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS al-Nisa’ ayat 11).

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS al-Nisa’ ayat 176).
Dalam BAB IV dibahas tentang ‘Aul dan Rad. Pengertian ‘Aul bagian ahli waris yang berhak menerima waris lebih besar dari harta peninggalan pewaris, sedangkan pengertian Rad adalah membagi sisa warisan kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing.
Dalam BAB V dibahas tentang masalah wasiat, dan perincian-perinciannya, diantaranya membahas tentang:
a. Pasal 194 membahas orang yang berhak memberikan wasiat, harta-harta yang bisa diwasiatkan, pemilikan terhadap harta wasiat.
b. Pasal 195 membahas; cara memberikan wasiat, jumlah harta yang boleh diwasiatkan tidak bole kebih dari sepertiga dari total harta, bolehnya memberikan wasiat kepada ahli waris, dan pernyataan persetujuan dalam menerima wasiat.
c. Pasal 196 menjelaskan dalam wasiar secara trtulis maupun tidak tertulisharus menyebutkan dengan tegas siapayang menerima wasiat.
d. Pasal 197 membahas tentang sebab-sebab batalnya penerimaan wasiat yang mempunyai keputusan tetap yang disampaikan Hakim, yaitu:
• Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh.
• Dipersalahkan secara memfitnah bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman lima tahun atau lebih berat.
• Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat
• Dipersalahkan karena penggelapan atau merusak atau memalsukan surat wasiat.
Dan masih banyak lagi pembahasan-pembahasan mengenai wasiat yang diatur dalam 21 pasal beserta rician-rinciannya.
Kesimpulan
KHI adalah suatu bentuk dari kemajuan yang bisa diraih masyarakat muslim, yang mana sebenarnya umat Islam adalah umat terbesar yang menjadi warga negara Indonesia tetapi dalam kenyataanya dalam masalah hukum kenapa tidak bisa menerapkan hukum yang bersumber dari keyakinan dari umat Islam itu sendiri.
Maka setelah adanya UU No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan agama, KHI resmi digunakan dalam memecahkan permasalahan orang yang berperkara dikalangan masyarakat muslim, dan tidak diperkenankan untuk memilih hukum apa yang digunakan, walaupun lingkpupnya hanya yang berkaitan dengan keperdataan seperti; Nikah, Talak, Rujuk, kewarisan, dan Wakaf.
Semoga pada masa-masa yang akan datang kita bisa menerapkan hukum Islam secara utuh dan lengkap dalam kehidupan bernegara, yang mana hal tersebut adalah merupakan perintah dari ALLAH swt dalam kitab sucinya al-Qur’an yang wajib kita ikuti dan amalkan dalam kehidupan kita di dunia ini.

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.











Daftar pustaka:
1. Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya DEPAG RI
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3. Pembahasan Waris dan Washiat Menurut Hukum Islam oleh Drs. M. Thoha Abdurrahman
4. Makalah Pembuktian Dan sengketa Hak Milik Dalam Perkara Waris Dan Harta Bersama oleh Drs. Buang Yusuf, SH, MH.

.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

 

Nilai takwa dalam berpakaian. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com