Cari Blog Ini

Kamis, 10 Desember 2009

ISLAM DAN UUD 45


A.Pendahuluan

Di banyak kalangan, topik tentang hubungan agama dan politik sangat menarik untuk dibicarakan, baik oleh kalangan yang berpegang teguh pada ajaran agama maupun oleh kalangan yang berpandangan sekuler. Bagi umat Islam sendiri, munculnya topik pembicaraan tersebut berpangkal kepada permasalahan: Apakah ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW mempunyai kaitan erat dengan masalah politik, kenegaraan dan pemerintahan, dan apakah system dan bentuk pemerintahan, sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam?
Permasalahan tersebut muncul sebenarnya adalah suatu yang wajar sekali, karenarisalah yang di bawa Nabi Muhammad SAW adalah agama yang sarat dengan aturan-aturan dan undang-undang (qawanin) yang bertujuan untuk membangun kehidupan manusia guna mewujudkan kebahagiaan baik di dunia maupun akherat. Artinya Islam sangat menekankan keselarasan antara kepentinga duniawin dan kepentingan ukhrawi, karena itu ajaran Islam adalah ajaran yang terbangun dari prinsip-prinsip tauhid, ibadah, akhlak, dan moral, serta prinsip-prinsip umum tetang kehidupan bermayarakat.
Dikalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga golongan yang berbeda pendapat dalam pemasalahan hubungan antara Islam dan tata Negara.
Golongan pertama berpendapat bahwa Islam bukanlah agama seperti menurut pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sangat sempurna dan lengkap dengan peraturan pada segala aspek kehidupan manusia termasuk aspek kehidupan bernegara, para penganut aliran ini pada umumnya bependirian bahwa:

1.Islam adalah agama yang serba lengkap, Di dalamnya terdapat pula antara lain system ketatanegaraan atau politik. Makanya dalam bernegara hendaknya umat Islam kembali pada system ketatanegaraan yang ada dalam Islam, dan tidak perlu bahkan jangan mengikut pada system tata Negara barat.
2.Sistem ketatanegaraan atau politik yang harus diteladani adalah system yang dilaksanakan oleh Nabi dan empat Khulafaaurashidun.

Tokoh-tokoh utama dari aliran ini antara lain Syeh Hasan al Banna, Sayyid Quthb, Syeh Muhammad Rashid Ridlo, dan yang paling vocal adalah Maulana Abul A’la Al-Maududi.
Golongan kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yaitu Islam tidak memiliki hubungan dengan urusan ketatanegaraan, menurut golongan ini Nabi Muhammad hanyalah Rosul biasa seperti rosul-rosul sebelumnya, yang bertugas untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mengepalai suatu Negara. Tokoh utama dalam golongan ini antara lain Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husain.
Golongan ketiga berpendirian menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam juga terdapat system ketatanegaraan atau politik. Tetapi golongan ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama seperti pengertian barat yang hanya mengatur antara manusia dan penciptanya. Golongan ini berpendapat dalam Islam tidak ada system ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai dalam kehidupan bernegara. Tokoh utama dalam golongan ini adalah Dr. Mohammad Husein Haikal, pengarang buku Hayatu Muhammad dan Fi Manzil al-wahyi.
Tujuan di bentuknya suatu Negara dalam konsep Islam adalah terwujudnya kebahagiaan dunia dan akherat, sebenarnya tujuan ini sejalan dengan konsep tujuan pembentukan Negara secara umum dalam suatu pemerintahan khususnya NKRI yang tertuang dalam Pembukaan (Preambule) UUD ’45 Alenia ke-4 yaitu:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,…”

Syeh Abul hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi salah satu pemikir Islam klasik, memiliki karya tulis yang cukup bagus tetang prinsip-prinsip dasar dalam rangka mewujudkan kebahagiaan dunia akherat dalam kitabnya yang terkenal Adabud Dunya Waddin, Syeh Al-Mawardi membagi prinsip-prinsip tersebut dalam dua bagian, yang pertama berkaitan dengan seluruh masyarakat secara umum dan yang kedua berkaitan dengan masing-masing individu dalam masyarakat, yang mana kedua bagian tersebut harus terpenuhi semua, jika tidak, maka sulit sekali kalau tidak mau mengatakan tidak mungkin mewujudkan kebahagiaan dunia dan akherat seperti yang diharapkan. Prinsip-prinsip itu adalah :

Yang berkaitan dengan masyarakat secara umum ada 5 hal, yaitu:

1.Tegak dan diikutinya ajaran agama
2.Pemerintahan yang kokoh
3.Keadilan yang merata
4.Stabilitas keamanan yang terjaga
5.Kesejahteraan umum
6.Harapan yang luas

Yang berkaitan dengan masing-masing individu ada3, yaitu:

1.Terkendalinya hawa nafsu
2.Kasing sayang sosial
3.Kecukupan ekonomi

B. Substansi Nilai-Nilai Islam dalam Pancasila Dan UUD ‘45

Setiap Negara dibangun atas dasar falsafah tertentu. Falsafah itu merupakan perwujudan keinginan rakyatnya. Oleh karena itu setiap Negara memiliki falsafah yang berbeda. Karena suatu falsafah identik dengan keinginan dan watak rakyat dan bangsanya, maka tidak mungkin mengambil falsafah Negara lain untuk dijadikan falsafah bangsanya begitu saja. Karena falsafah itu merupakan perwujudan dari watak dan keinginan suatu bangsa, maka segala aspek kehidupan bangsa tersebut harus sejalan dengan falsafahnya.
Ketika BPUPKI mencari Philosofische grondslag untuk Indonesia yang akan merdeka dalam rapat-rapatnya, Pancasila diputuskan menjadi dasar Negara, hal itu berarti bahwa setiap tindakan rakyat dan Negara Indonesia harus seuai dengan Pancasila yang sudah ditetapkan sebagai dasar Negara itu.
Dalam bidang hokum Pancasila merupakan sumber hokum materiel. Oleh karena itu setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya. Jika hal tersebut terjadi maka peraturan itu harus segera dicabut.
Secara substansial Pancasila mencerminkan nilai-nilai Islam, terutama pada sila pertama dari Pancasila yaitu ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, Profesor Hazairin ketika ditanya tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, beliau menjawab denga tegas dengan:
“Dari manakah datangnya sebutan Ketuhanan Yang Maha Esa itu? Dari pihak Nasranikah, atau pihak Hindukah, atau pihak Timur asing (golongan keturunan cina)-kah, yang ikut bermusyawarah dalam panitia yang bertugas menyusun UUD ’45 itu? Tidak mungkin! Istilah Ketuhanan Yang Maha Esa itu sanggup diciptakan oleh otak, kebijaksanaan, dan iman orang Indonesia Islam, yakni sebagai terjemahan dari pengertian yang terhimpun dalam ALLAHU al-Wahidu al-Ahad yang disalurkan dari QS 2: 163, dan dizikirkan dalam do’a Kanzul’l Arsy baris 17”.
Yang pertama kali mengusulkan penambahan perkataan “Yang Maha Esa” dalam perkataan “ketuhanan” pada saat perumusan UUD ’45 yang menggantikan Piagam Jakarta adalah Ki Bagus Hadikusumo, yang kemudian hari menjadi ketua umum Muhammadiyah. Ketika beliau ditanya tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa, maka jawab beliau singkat sekali, yaiu “Tauhid”.
Kata Tauhid adalah kata yang berasal dari Islam, yang berarti percaya pada keesaan Tuhan,. Salah satu surat dalam Al-Qur’an yang mengajarkan Tauhid adalah surat al-Ikhlas (QS 112), yang terdiri dari empat ayat, yaitu :

قل هوالله احد الله الصمد لم يلدولم يولد ولم يكن له كفوا احد

Pada sila-sila berikutnya dalam Pancasila, jika dicermati banyak sesuai sekali dengan nilai-nilai yang ada dalam Islam. Dalam Islam tidak mengenal pembedaan setatus seseorang di hadapan ALLAH SWT, yang membedakan tinggi rendahnya derajat seseorang hanyalah ketaqwaanya semata, yakni menjalankan perintah ALLAH dan menjauhi laranganya, Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam Pancasila pada sila kedua “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”. Persamaan derajat, sikap saling mencintai, sikap tenggang rasa yang ada dalam sila ke dua tersebut mencerminkan nilai Islam yang terdapat pada surat Al Hujurot ayat 10 dan 13, yaitu:

انما المؤمنون اخوة فاصلحوا بين اخويكم والتقواالله لعلكم ترحمون

ياايهاالناس اناخلقناكم من ذكر وانثى وجلناكم شعوبا وقبا ئل لتعرفوا ان اكرمكم عندالله اتقاكم ان الله عليم خبير

Cerminan nilai-nilai Islam tersebut bisa dilihat dari sila-sila berikutnya, yang mana jika dicermati memang tidak ada satu pun yang berlawanan dengan nilai yang ada dalam Islam, kalupun ada, sudah dari dulu Pancasila dihapus, karena sebagian besar rakyat Indonesia adalah umat Islam. Apalagi hampir semua peserta musyawarah yang menyepakati Pancasila dan UUD ‘45 menjadi Falsafah dan dasar Negara bangsa Indonesia hampir semua orang yang beragama Islam, kecuali satu orang yaitu A.A. Maramis, ia seorang nasionalis Kristen sekular.
Tulisan ini sama sekali tidak ditujukan untuk menjustifikasi bahwa pendapat sebagian masyarakat Indonesia yang menginginkan Pancasila dan UUD ’45 dirubah dan digantikan dengan penegakan Syariah Islam dengan mengusung konsep Khilafah menggantikan konsep Demokrasi yang dipakai bangsa Indonesia sekarang ini adalah pendapat yang salah atau kurang tepat.
Tapi tulisan ini lebih ditujukan untuk mencari persesuaian antara nilai-nilai agung dan suci yang ada dalam Islam dikomparasikan dengan kearifan dan kebijaksanaan lokal yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang terangkum dalam Pancasila dan UUD ’45.
Memang pada awal masa kemerdekaan Indonesia sempat muncul ide untuk menjadikan Syariah Islam menjadi dasar Negara Indonesia, yang mana fakta sejarah tersebut bisa kita telusuri dari bukti pernah adanya Piagam Jakarta yang ditanda tangani pada tanggal 22 juni 1945.
Bahkan sudah menjadi fakta sejarah pula bahwa perkataan “Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya” pernah disepakati oleh para Founding father Negara ini dimasukan dalam Pembukaan (preambul) UUD ’45. Namun karena alasan disintegrasi bangsa yang disampaikan oleh Muhammad Hatta atas saran seorang opsir Kaigun jepang (yang namanya tidak lagi diingat oleh Hatta) yang mengatas namakan utusan dari pemeluk agama katolik dan prostestan dari Indonesia timur, akhirnya pada tanggal 18 agustus 1945 “klausul Islami” yang terdapat dalam Piagam Jakarta akhirnya disepakati untuk dicoret dan digantikan dengan “Negara Republik Indonesia Yang Berkedaulatan Rakyat Dengan Berdasar Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”, Dengan alasan supaya tidak menusuk hati kaum yang beragama Kristen dan untuk menjaga supaya jangan pecah sebagai bangsa.
Pembahasan ini sebenarnya pernah menjadi tarik ulur yang sangat alot, karena memang ini merupakan dasar yang menentukan langkah bangsa Indonesia kedepan.
Presiden Sukarno yang mewakili pemerintah, pernah memberikan anjuran untuk kembali pada UUD ’45 dengan Pancasila sebagaimana yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta 22 juni 1945 dalam sidang majelis konstituante, dan para Nasionalis Islami bersedia memenuhi anjuran tersebut, tetapi para nasionalis sekuler, menyetujui untuk kembali pada UUD ’45 dan Pancasila sebagai dasar yang dirumuskan pada pembukaan UUD pada tanggal 18 agustus 1945 sebagai dasar Negara.
Tidak ada satu pun dari kedua kelompok besar tersebut menggolkan konsepnya, karena tidak ada satu pun diantara keduanya yang berhasil memenuhi syarat yang telah mereka tetapkan bersama dalam majlis tersebut, yakni meraih persetujuan dua pertiga suara yang hadir dalam majelis. Dengan demikian baik usul dari nasionalis islami maupun dari nasionalis sekuler, keduanya telah tidak diterima atau ditolak oleh majlis konstituante.
Majelis ini menemui jalan buntu pada bulan juni 1959, disebabkan karena mayoritas anggotanya terutama dari fraksi-fraksi yang bukan berasal dari Islam menolak untuk menghadiri lagi sidang di Bandung. Menghadapi situasi krisis konstitusional ini, Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet pada tanggal 3 juli 1959.
Dekrit itu dirumuskan di Istana Bogor pada 4 juli 1959, dan diumumkan secara resmi oleh Presiden pada hari Ahad 5 juli 1959 jam 17.00 didepan Istana Merdeka, Jakarta.
Ungkapan yang dipakai dalam Dekrit tersebut mencerminkan keinginan untuk lebih mendekati keinginan dari kelompok muslim dan untuk memberi keyakinan bahwa Dekrit tersebut tak akan ditentang oleh mereka. Dan ternyata rumusan yang digunakan itu lebih diterima oleh nasionalis Islam dari pada rancangan konsep keempat dan terakhir dalam Piagam Bandung yang diusulkan oleh pemerintah.
Dan ternyata Undang-Undang ’45 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta yang merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut telah diterima secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum 1959.
Tidak diragukan lagi bahwa dasar Negara Indonesia yang ada saat ini sangat kental dengan nilai-nilai luhur yang bersumber dari Islam, yang menurut salah satu pemikir barat digambarkan sebagai wujud kompromi dari pembahasan yang telah berlangsung bertahun-tahun, sekaligus merupakan cerminan dari kearifan dan kebijaksanaan yang bersumber dari tradisi local asli bangsa Indonesia, karena memang Walaupun Islam adalah agama pembaruan, tetapi Islam sangat menghargai adat istiadat atau tradisi asli suatu daerah selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai yang ada dalam Islam, ini bisa dilihat dari salah satu kaedah hokum yang ada dalam Islam, yang mana kaedah tersebut adalah hasil rumusan Ulama’ yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist, kaedah tersebut adalah :

العادة محكمة
C.KESIMPULAN
Kebahagiaan hidup di dunia dan akherat adalah merupakan harapan dan cita-cita setiap orang yang hidup, atau pernah hidup, atau bahkan yang akan hidup di dunia ini. Terutama sekali umat Islam yang sangat meyakini akan adanya kehidupan lain setelah hidup di dunia ini, yang mana keyakinan tersebut juga merupakan syarat wajib setiap orang yang mengaku Islam dan Beriman.
Salah satu unsur yang menjadi keniscayaan untuk meraih kebahagiaan tersebut khususnya di dunia adalah adanya keteraturan hidup dalam memenuhi kodratnya manusia sebagai makhluk social, salah satu kunci untuk mendapatkan keteraturan tersebut adalah dengan adanya pemeritahan atau Negara, yang mana perintahan atau Negara tersebut berfungsi untuk menjaga kestabilan keteraturan dalam masyarakat.
Jelas sekali bahwa suatu pemerintahan atau Negara harus memiliki dasar atau asas yang menjadi acuan pemerintah atau Negara tersebut dalam menjalankan fungsinya. Setiap dasar atau asas tersebut pasti berasal dari sesuatu yang sangat di agungkan dan dianggap ideal oleh yang memakainya apapun wujud atau bentuk dari asas atau aturan itu.
Yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup bernegara adalah semangat, semangat dari penyelenggara Negara, semangat dari pemimpin pemerintahan sebagai pelaksana. Bagaimana bagus dan rumitnya rumusan filsafat suatu Negara, tidak punya arti apa-apa jika berada ditangan pemimpin yang salah dan tidak jujur.
Tapi memang untuk membentuk satu pemerintahan yang ideal adalah suatu hal yang tidak mudah, sikap optimis, kerja keras, dan rahmat ALLAH azza wa jall-lah yang bisa memwujudkan hal tersebut.
Semoga bangsa kita menjadi bangsa yang selalu mendapatkan rahmat dari ALLAH tabaraka wa ta’ala. AMIIN..












REFERENSI:

1.AL-QUR’ANUL KARIM
2.ADABUD DUNYA WADDIN, oleh Imam Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Basri Al-Mawardi
3.ISLAM DAN TATA NEGARA, oleh H. Munawar Sjadzali, MA.
4.PIAGAM JAKARTA 22 JUNI 1945, oleh H. Endang Saifuddin Anshari, MA
5.SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM, oleh Taqiyudin An-Nabhani, judul asli: “NIDHAMUL HUKMI FIL ISLAM” Penerjemah: Drs. Moh. Maghfur Wahid.
6.KAMUS AL-MUNAWWIR, oleh Ahmad Warson Munawwir
7.FIQH SIYASAH, oleh Dr. J. Suyuthi Pulungan, MA.
8.UUD ’45 DAN AMANDEMEN.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

 

Nilai takwa dalam berpakaian. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com